Rabu, 05 Februari 2014

The Year of Living Dangerously (1982)



Sutradara   : Peter Weir
Produser    : Jim McElroy
Penulis       : Christopher Koch
                    Peter Weir
                    David Williamson
Pemeran     : Mel Gibson
                    Sigourney Weaver
                    Linda Hunt

Gelap dan penuh drama romantis dengan balutan waktu dan tempat yang tidak biasa. Diracik dengan cukup sempurna berdasarkan novel yang sesungguhnya cukup rumit. Begitulah indahnya adaptasi novel The Year of Living Dangerously karya Christopher Koch ini hingga bisa menjadi sebuah film yang mudah dimengerti dan menghibur sekaligus memberikan pelajaran sejarah bagi saya.

Garapan tangan sang sutradara Peter Weir berhasil memuaskan rasa penasaran saya akan setting dan latar yang terjadi pada tahun 1965 di Jakarta.

The Year of Living Dangerously sendiri adalah film drama romantik buah tangan sutrada berkebangsaan Australia yang menceritakan kisah petualangan seorang wartawan Australia yang ditugaskan meliput situasi di Jakarta/Indonesia pada tahun 1965, sebelum hingga saat G30S terjadi.

Guy Hamilton (Mel Gibson) yang seorang koresponden asing pendatang baru untuk jaringan berita radio Australia, tiba di Jakarta dalam sebuah tugas resmi. Di Jakarta, dia bertemu dengan anggota komunitas koresponden asing lainnya, antara lain seorang wartawan asing, personel diplomatik, dan seorang penyandang dwarfisme berdarah Tonghoa-Australia berkecerdasan tinggi dan keseriusan moral bernama Billy Kwan (Linda Hunt) yang juga sebagai narator dalam film ini..

Billy and Guy
Guy dikirim ke Jakarta tanpa ada bimbingan sama sekali dari pendahulunya. Tanpa kontak dan jaringan yang dia kenal, Guy akhirnya berusaha bertahan terhadap apa yang telah lama dia nantikan, yaitu menjadi reporter lapangan.

Awalnya Guy hanya menerima simpati yang terbatas dari komunitas wartawan yang bersaing untuk mendapat potongan-potongan informasi dari pemerintahan Soekarno, golongan komunis (PKI) dan militer (TNI). Namun, Billy Kwan yang menyukai kepridaian Guy berhasil membantunya untuk mendapatkan berbagai janji wawancara dengan tokoh-tokoh penting, seperti dengan Soekarno dan bahkan DN Aidit pimpinan PKI saat itu, sehingga reputasi Guy pun naik tajam.

Suatu hari, Billy memperkenalkan Guy kepada Jill Bryant (Sigourney Weaver) , seorang asisten muda yang cantik di kedutaan Inggris. Awalnya tingkah laku yang diperlihatkan oleh Jill seperti menolak kehadiran Guy. Bahkan Guy harus menerima bahwa mereka tidak akan bisa bersama karena Jill akan segera kembali ke Inggris. Namun Billy secara halus memanipulasi semua pertemuan yang terjadi antara Guy dan Jill, hingga akhirnya Jill jatuh cinta dengan Guy.

Jill and Guy
Jill yang mendapat kabar bahwa pemerintahan komunis China berencana untuk mempersenjatai anggota PKI merasa ketakutan dan mengajak Guy untuk ikut bersama dengannya tinggal di Inggris tanpa memberitahukan informasi rahasia ini kepada Guy.

Namun pada akhirnya Jill pun memberitahukan kabar tersebut pada Guy dan sesuai dengan prediksi Jill, Guy langsung bereaksi dan ingin menjadi orang pertama yang membeberkan berita besar tersebut karena dia yakin perang sipil akan segera terjadi ketika pengiriman senjata tersebut mencapai Jakarta.

Akibat informasi rahasia ini hubungan Guy dan Jill pun menjadi renggang.

Memang banyak yang mengatakan bahwa film The Year of Living Dangerously ini tidak merekam cukup banyak adegan dan cerita sesuai dengan novelnya. Namun, bagi saya, dengan durasi 115 menit, Peter Weir bisa  mengemas film ini dengan cukup baik dan tidak serumit cerita asli yang ada pada novelnya. Peter membuat cerita yang tersaji dengan cukup berat menjadi film yang ringan dan renyah untuk ditonton.

Gaya gaya drama khas Sutradara The truman Show dan Dead Poet Society ini pun sangat terlihat jelas. Lihat bagaimana Billy mencaci rekan korespondennya yang ternyata berhubungan seksual dengan seorang anak Indonesia dibawah umur dan bagaimana Kumar dengan dramanya yang dingin saat membawa Guy ke kampung halamannya di Jawa. Mel Gibson yang masih sangat muda itu pun tidak lepas dari drama yang dia perankan saat mengetahui bahwa kematian Billy bukanlah akibat bunuh diri.

Meski akhirnya film ini melambungkan nama Mel Gibson di panggung sinema dunia, Namun yang patut diacungi jempol adalah akting dari Linda Hunt karena telah berhasil dengan sempurna membawakan peran sebagai laki-laki dengan sangat baik. Tidak heran jika dia dianugerahi penghargaan untuk Aktris Pendukung Terbaik pada Perayaan Academy Award tahun 1983.

Sedikit informasi, meskipun terlihat sangat Indonesia atau sangat Jakarta sekali, namun sebenarnya keseluruhan pembuatan film ini dilakukan di Filipina karena sebelumnya permohonan untuk syuting di Indonesia tidak dikabulkan oleh pemerintah saat itu. Sedangkan judul film, The Year of Living Dangerously sendiri juga merujuk pada judul pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1964, "Tahun Vivere Pericoloso", yang dikenal dengan singkatan TAVIP. Ungkapan bahasa Italia vivere pericoloso berarti "hidup dalam situasi berbahaya".



PKI berdemo
Guy dan militer Indonesia










Oleh pemerintahan Orde Baru film ini dilarang beredar di Indonesia karena dianggap menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan sejarah karena di dalam film ini terdapat adegan penembakan massal yang dilakukan oleh sepasukan tentara berbaret merah. Namun larangan ini dicabut pada tahun 1999, setelah rezim Orde Baru berakhir.


Selasa, 14 Januari 2014

Edward Scissorhands (1990)



Director: Tim Burton
Writers: Tim Burton (story), Caroline Thompson (story)
Stars: Johnny Depp, Winona Ryder, Dianne Wiest



Gelap, noir, kelam dan berbau hitam. Tim Burton memang luar biasa. Berani meninggalkan Disney Pictures sebagai animator dan mulai mewujudkan film dengan gayanya sendiri. Gaya yang sangat khas ala Tim. Hampir semua film besutan Tim saya suka. Mulai dari Batman, Batman return, Edward Scissorhand, Frankenweenie hingga yang paling fenomenal The Nightmare Before Christmas.

Namun yang ingin saya ceritakan disini hanya satu film yang membuat saya tepuk tangan dengan inti ceritanya. Permainan psikologis sang tokoh dan tentunya grafis hitam putih ala-ala noir yang menjadi ciri khasnya.

Ya, Edward Scissorhand. sebuah film yang sebenarnya berbau romance namun digarap dengan sangat apik menjadi sebuah film 'kelam' yang menarik.

Ingat dengan legenda Frankenstain? Manusia yang dibangkitkan dari kematian dengan menyatukan beberapa bagian tubuh dari mayat-mayat yang dikumpulkan.

Edward Scissorhand pun tidak jauh berbeda dengan itu. Berlatarkan kastil tua dengan detil yang cukup apik sehingga membuat saya yang menontonnya mampu merasakan sedikit kengerian pada kastil tua tersebut.

Semua berawal dari Peg Boggs (Dianne West), seorang penjual kosmetik keliling yang mengunjungi sebuah kastil tua. Disana dia bertemu dengan Edward (Johnny Depp) yang mempunyai tangan seperti gunting (Scissorhands).
Peg and Edward

Sama dengan cerita Frankesntain, Edward adalah hasil dari buah karya seorang penemu yang menciptakan Edward dari beberapa koleksi temuannya. Namun sayang, sang penemu tersebut meninggal sebelum dia sempurna menciptakan Edward. 

Setelah menemukan Edward di sebuah loteng di kastil gelap tadi, Peg memutuskan untuk membawa Edward ke rumahnya. Hingga akhirnya Edward bertemu dengan suami Peg, Bill (Alan Arkin), anaknya, Kevin (Robert Oliveri) dan Kim (Winona Ryder), tetapi saat Peg pertama kali membawa Edward kerumahnya, Kim sedang dalam perjalanan bersama teman-temannya. 

Awalnya semua orang memandang aneh pada Edward, lalu karena keahlian Edward dengan gunting-gunting besar ditangannya, Edward akhirnya diterima oleh tetangga-tetangga keluar Boggs, karena Edward menawarkan jasa gunting rambut dan merapikan tanaman. Keluarga Boggs pun tidak canggung lagi dengan Edward.

Lalu Kim akhirnya pulang bersama pacaranya, Jim (Anthony Michael Hall). Kim tentu saja shock dan kelihatan sedikit tertanggu dengan kehadiran Edward. Dan kehidupan Edward yang seimbang berubah saat teman-teman Kim meminta bantuan Edward untuk mencuri disebuah rumah.

Saya tidak bisa menyangkal, gaya gotik ala-ala Tim Burtonlah yang membuat saya menyukai film ini. Ditambah performa Johnny Deep yang selalu bisa memuaskan para penggemar disetiap perannya. Cukup dengan tatapan mata dan dan pandangan dingin yang dilakukan oleh Deep, saya langsung jatuh cinta dengan tokoh Edward.

Memang jika dibandingkan beberapa karya Tim yang lain, Edward Scissorhand tidak terlalu gotik-gotik amat. Tapi, tetap saya masih bisa menemukan sesuatu yang khas ala-ala Tim Burton di film ini.

Kim and Edward

Ditambah kolaborasi Tim bersama dengan Komposer musik andalannya, Danny Elfman, Tim berhasil menciptakan drama kelam yang luar biasa.


Johnny Deep memang luar biasa. Julukan aktor dengan seribu wajah memang pantas disandangnya. Banyak tokoh yang hampir saja tertutup oleh aktingya di film ini. Sebut saja Winona Ryder yang seharusnya membangkitkan gairah romance di film ini jelas kalah total oleh akting Depp. Begitu juga dengan Dianne West, Alan Arkin, dan Anthony Michael Hall, mereka hampir tidak bisa bersaing dengan Deep di film ini. Namun di film ini juga comeback Hall cukup memuaskan karena sangat berbeda dengan karakternya di film The Breakfast Club dan Sixteen Candles. 


Ada satu adegan menarik antara Edward dan Kim, saat Edward membuat sebuah patung dari es, Kim melihat salju-salju berterbangan, dia kemudian keluar dari rumah dan melihat hal yang menakjubkan. Dia melihat Edward memahat es dengan tangan guntingnya dan salju-salju berterbangan disekelilingnya. Kim mulai menari diantara salju-salju tersebut. Kim menikmati detik-detik keromantisan itu. Suasana yang cukup romantis apalagi ditambah dengan iringan musik yang manis.


Namun sayang, proses percintaan Kim dan Edward terbilang absurd, hampir tidak jelas dan terlalu sedikit. Sangat sayang sih menurut saya melihat seharusnya adegan romance dalam film ini bisa mendukung inti ceritanya sendiri.







Senin, 13 Januari 2014

JUNO (2007)




Starring : Ellen Page, Michael Cera, Jason Bateman, Jennifer Garner
Written by Diablo Cody
Directed by Jason Reitman

Apa yang akan kita bahas kali ini?, hmm... Beberapa waktu yang lalu saya bercerita tentang kehamilan dan tentunya suatu saat nanti saya ingin memiliki anak dengan pacar yang akan menjadi istri saya nanti. Karena bercerita hal tersebut, saya langsung terpikir film ini. Ya, Juno. Film tentang remaja yang mendapat banyak penghargaan dan menjadi cerminan akan kehidupan remaja yang dituangkan dalam latar komedi-drama satir yang terkadang berlaku di luar kontrol mereka sendiri.

Usia 16 tahun, masih sangat muda dan memiliki satu orang anak. Bagaimana jika kalian yang menghadapi hal tersebut. Banyak solusi yang akan dilakukan, mulai dari solusi yang baik namun menyusahkan hingga solusi cepat yang sadis dan tak berperasaan.

Setidaknya seperti itulah yang dihadapi oleh Juno (Ellen Page). Dalam usia yang sangat muda ini, sebenarnya dia masih belum pernah terpikir untuk memiliki anak, Namun apa daya, bukan hanya telah menjadi bubur, tapi nasi yang sudah terlanjur lembek itu pun sudah berkerak. Tidak ada yang bisa disesalkan saat "percobaan" singkat dan pertama Juno dan sahabatnya, Bleeker (Michael Cera), ternyata membuahkan hasil yang sempurna. Juno hamil.

Suatu hal diluar dugaan bagi Juno yang masih remaja dalam usianya yang masih 16 tahun ini. Hari-hari yang seharusnya dia lewati dengan belajar dan bersenang senang dengan temannya pun kini sudah tak lagi ada. Juno harus menerima kenyataan bahwa dia akan menjadi seorang Ibu.

Juno and Bleeke

Aborsi pernah menjadi jalan singkat yang akan dilakukannya. Namun dengan bantuan sahabat dan orang tuanya, Juno akhirnya memilih alternatif lain, yaitu mencari orang tua angkat untuk anaknya nanti mengingat dia masih belum siap mengikat kontrak seumur hidup dengan jabang bayi yang dikandungnya.


Akhirnya pasangan Vanesa dan Mark Loring (Jennifer Garner & Jason Bateman) lah yang dengan senang hati akan mengadopsi anak yang nanti akan dilahirkan Juno. Mereka pasangan baik hati yang harmonis dan sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.

Keputusan besar yang diambil Juno untuk mempertahankan kehamilannya ini tentu membuatnya menjadi legenda di sekolah, dimana semua orang selalu memiliki pandangan yang terarah ke perutnya yang semakin membesar.

Bisa kita bayangkan bagaimana tragisnya cerita yang ditulis oleh  Diablo Cody ( mantan striper yang banting setir menjadi penulis ) dan langsung membawanya naik ke panggung Oscar serta menerima Best Writing, Original Screenply. Hoho, namun jangan salah, ternyata Cody tidak setega itu. Berkat dukungan dari sahabat dan orang tuanya juga lah nasib Juno tidak setragis yang saya katakan tadi. Yah, setidaknya hingga kehamilan Juno membesar dan tiba tiba calon ayah angkat anaknya, Mark mengatakan bahwa ia sebenarnya belum siap memiliki anak.

Dan disinilah drama dimulai.
Vanessa and Juno

Mungkin saya bisa mengatakan bahwa Juno merupakan karya kedua terbaik dari sutradara Jason Reitman setelah sebelumnya dia menuai pujian dengan karya perdananya, Thank you for smoking pada tahun 2005. Berkat kolaborasi antara sutrada berdarah Canadian/American  dan mantan striper ini,  Juno tampil sukses sebagai salah satu film terbaik tahun 2007, sekaligus menjadi salah satu dari sedikit film yang mendapat pujian tinggi yang hampir merata diantara kritikus film, sekaligus positif di mata penontonnya.

Sang sutrada dan penulisnya berhasil menggambarkan kisah Juno sebagai remaja yang tidak terlalu cantik atau populer, ia hanya remaja biasa, tomboy, idealis dan bersahabat dengan geek di sekolahnya. Dengan karakter yang santai dan super biasa (tapi bertanggung jawab) seperti itu, Juno ternyata berhasil mengundang simpati penonton untuk ikut memikirkan masalah yang dialaminya. Membuat saya sebagai penonton mampu tenggelam bersama drama yang disajikan.

Cody pun berhasil dengan sangat baik memunculkan karakter Juno yang hanya seorang gadis 16 tahun dan dipenuhi banyak rasa penasaran yang akhirnya mendorong dia untuk bereksperimen soal seks dengan sahabatnya, Bleeker. Namun Apa daya, eksperimen yang berbuahkan hasil itu berubah menjadi persoalan, yang sebenarnya sangat relevan di dunia remaja (khususnya saat ini), tapi sekaligus sangat membutuhkan kedewasaan dalam mencari jalan keluarnya.

Juno
Tidak lupa saya akan memberikan tepuk tangan terkeras untuk  Ellen Page sebagai aktris yang sungguh sangat berbakat. Usianya baru 20 tahun saat film ini mulai dirilis dan Page berhasil membuat saya terpukau dengan sikapnya yang berlagak cuek dan santai namun berhasil menampilkan maksud tersirat dalam perasaannya seperti cemas, ketakutan, kesepian, tapi juga keheranan dan rasa takjub yang diam diam dia rasakan akan seluruh proses kehamilannya.


Banyak hal yang bisa saya petik dari karakter Juno yang berani mengambil keputusan besar dan bertanggung jawab ini. Dengan narasi yang diisi sendiri oleh Juno, saya sebagai penonton dan mungkin anda yang juga menyaksikan film ini mampu masuk dan menelaah apa yang dipikirkannya saat itu. Terlebih saat, melihat transformasi tokoh Juno dan apa yang ia pikirkan selama masa kehamilan dan caranya berdamai dengan situasi yang dialaminya.

Juno, Leah and Bren MacGuff
Sedangkan Bleeker, digambarkan dengan cukup baik pula oleh Michael Cera, sebagai seorang pemalu, pendiam, pasif dan geek juga, tapi ternyata juga menyimpan emosi yang dalam yang berkembang seiring film ini berlangsung. Begitu juga ayah dan ibu tiri Juno, kemudian Mark dan Vanessa. Semua tokoh dalam film ini rasanya akan mampu dengan cepat menarik perhatian siapapun yang menontonnya.

Juno and Bleeker


Terakhir, Reitmen telah sukses meramu  kompleksitas yang terjadi di dunia remaja dengan sangat baik. Terutama terkait masalah kehamilan diusia muda yang saat ini tengah marak melanda remaja. Tapi diluar semua itu, film ini justru menjelaskan bagaimana nilai-nilai moralitas seorang remaja diuji dan kolaborasi Reitmen-Cody sukses menjelaskan moralitas tersebut dengan sederhana, sebuah moralitas yang bangkit dari puing puing kehancuran sosial dalam masyarakat, keluarga dan terutama dari diri sendiri.

Dengan sentuhan-sentuhan  manis yang diberikan terutama tentang bagaimana dukungan orang orang terdekat Juno dalam menyikapi masalah kehamilan yang dihadapinya, membuat saya berpikir. Bagaimana nasib teman-teman remaja yang mengalami hal serupa dengan Juno di luar sana dan tidak seberuntung Juno yang memiliki banyak dukungan moral dari orang-orang terdekatnya karena kehamilan diusia muda dan diluar nikah merupakan masalah yang kompleks dan dibutuhkan kedewasaan dari banyak pihak untuk menyelesaikannya. Karena tanpa dukungan dari orang-orang terdekat, Juno sudah cukup menerima penghakiman dan stereotipe dari masyarakat yang mungkin akan cukup membuatnya menyerah dan melakukan jalan yang salah.


Ruby Sparks





Starring : Paul Dano, Zoe Kazan, Chris Messina, Annette Bening, Antonio Banderas
Writer : Zoe Kazan
Directors: Jonathan Dayton, Valerie Faris


Setelah Dayton dan Faris membuat saya tertawa geli dengan kebodohan-kebodohan yang diciptakannya melalui Little Miss Sunshine (2006). Kini mereka kembali membuat saya mengernyitkan dahi dengan ide cerita yang cukup unik dan menggoda rasa penasaran saya.

Pernah bermimpi punya kekasih yang sempurna? Atau hidup bersama kekasih idaman? Saya sih tidak. Tidak sedang bermimpi maksudnya, karena saya memang sudah memiliki kekasih idaman. Namun berbeda dengan Calvin ( Paul Dano ), seorang novelist sukses yang sangat kesepian dengan hidupnya. Karena kesepiannya itu dia rutin bertemu dengan kakaknya ( Chris Messina ), memelihara seekor anjing sebagai penghibur untuk kehidupan sosialnya, serta menjadi pasien soerang psikiater untuk menumpahkan keluh kesahnya.

Suatu hari, psikiater Calvin menyarankan agar Calvin mulai menulis tentang seorang wanita impiannya. Calvin pun mengikuti saran dari sang psikiater. Di dalam bayangannya, wanita itu bernama Ruby Sparks, memiliki karakter yang disukai Calvin dan fisik yang menjadi idamannya. Namun, betapa terkejutnya Calvin ketika suatu hari ia terbangun dan menemukan Ruby (Zoe Kazan) , wanita yang menjadi tokoh dalam mimpi dan tulisannya itu tiba-tiba muncul di hadapannya.

Ruby Sparks













Calvin yang terkejut dan mengira dia sedang bermimpi lekas menyegarkan kesadarannya. Namun yang dia temukan tetap Ruby yang sedang berdiri di hadapannya. Ini bukan mimpi, wanita yang dia karang dalam tulisannya muncul berdiri di depan matanya.

Sejak kemunculan Ruby, hari-hari Calvin jadi lebih berwarna, dia tidak lagi sendiri dan merasa kesepian. Ditambah, karakter sifat dan fisik Ruby merupakan karangan wanita yang diidam-idamkan oleh Calvin. Namun sayang, kehadiran Ruby ternyata tidak memperbaiki hubungan sosial Calvin dengan sekitar. Calvin menjadi sangat egois dan mulai possesif terhadap Ruby. Bahkan saat pertengkaran mulai berlangsung, Calvin tidak segan-segan untuk mengetik suatu hal pada mesin ketiknya agar Ruby mengikuti apa yang diinginkannya.

Calvin and Ruby 
Ada satu kutipan menarik yang saya suka dari film ini, yaitu saat Calvin bertemu dengan mantan kekasihnya disebuah pesta. "The only person that you wanted to be in a relationship whit was you, so i let you do that."

Diluar kompleksitas karakter Calvin yang membuat penonton kesal, senang bahkan terkadang benci. Film ini menawarkan sesuatu yang berbeda, yang baru dan tidak biasa. Kreatif dan Unik mungkin cukup menjelaskan maksud yang ingin saya sampaikan mengenai film ini.

Zoe Kazan, yang merangkap menjadi penulis sekaligus aktris di dalam film ini, mungkin juga merasakan hal yang sama seperti Calvin, mungkin saja saat ia menulis cerita film ini, ia juga membayangkan karakter pria semacam apa yang diinginkannya. Lalu tiba-tiba pria itu muncul dan menjadi kekasihnya.

Plot yang diberikan pun sederhana, Tidak banyak kemunculan karakter-karakter pendukung sehingga penonton lebih terfokus pada Calvin yang culun, dicampakkan kekasihnya lalu mencoba membuat buku dan memacari karakter yang ada dibukunya.

Chemistry yang terbangun antara Zoe Kazan dan Paul dano tergolong kuat. Momen momen ceria, berbunga-bunga dan pertengkaran mereka tervisualisasikan dengan baik. Sosok jenius yang geek dan tidak pandai bergaul tampak jelas dari wajah Paul Dano. Mereka berdua kompak membuat sebuah tim yang saling melengkapi dan sukses menjadikan kedua tokoh utama tetap menjadi fokus cerita, walau terdapat beberapa karakter lainnya yang mencuri perhatian seperti Annette Bening dan Antonia Banderas yang menjadi orang tua Calvin yang eksentrik.

http://www.heyuguys.co.uk/images/2012/07/Ruby-Sparks-3.jpg
Orang tua Calvin

Hingga pada akhirnya saya sampai pada dua pertanyaan besar di penghujung film, apakah tokoh Ruby tersebut benar nyata atau memang hanya Calvin yang terlalu berkhayal hingga menciptakan delusi yang akut pada karakter Ruby dan bagaimana bisa sebuah mesin ketik masih digunakan dalam sebuah rumah berkonsep minimalis-modern, cukup kontras menurut saya.

Calvin dan mesin ketikny
Apapun itu, saya tidak ingin menjadi seperti Calvin. Saya tidak perlu membayangkan wanita impian seperti apa yang ingin saya ciptakan. Cukup dengan kekasih yang mau menyayangi saya setulus saya mencintai dia. Itu saja. Dan mohon maaf ya Calvin, saya sudah punya kekasih idaman itu. hehehe





The Insider (1999)



Director: Michael Mann.
Writers: Marie Brenner.
Starring: Russell Crowe, Al Pacino, Christopher Plummer.


Setelah berhasil memukau saya selama 180 menit dengan permainan psikologi antara penjahat dan penegak hukum melalui film Heat, kini Michael Kenneth Mann berhasil sekali lagi mempermainkan ketegangan dalam setiap permainan karakter dan plot yang yang memukau dalam The Insider.

Film yang diangkat dari kisah nyata pengakuan seorang mantan direktur dan ilmuwan yang membelot dan melawan perusahaan tempat dimana sebelumnya ini bekerja cukup berhasil membuat saya terdiam dan melupakan camilan yang ada di tangan saya.

Sebelumnya sudah banyak film-film yang mengangkat tema profesi, seperti pasukan khusus kepolisian, pengacara, detektif, bankir, serta profesi lainnya. The insider sedikit berbeda karena mengangkat tema profesi yang jarang diangkat oleh sutradara lainnya, yaitu jurnalis. Masih sedikit film-film yang bercerita tentang kegiatan, tantangan dan keasikan menjadi seorang jurnalis dan Michael Mann berhasil meramu integritas seorang jurnalis yang handal tanpa membuat satu pun cacat  yang mengecewakan.

tokoh utama dalam film ini adalah Jeffrey Wigand (Russell Crowe). Seorang direktur sekaligus ilmuwan di sebuah perusahaan rokok yang mengetahui bahwa para elit di perusahaan tempat dia bekerja berusaha menyembunyikan fakta tentang penemuan zat adiktif dalam tembakau yang mampu membuat para perokok kecanduan dan merusak sistem saraf dalam otak. Karena tidak mau menyembunyikan fakta ini, dia pun kemudian dipecat. Pemecatan itu membuat rusak rumah tangga Wigand yang sedang mengalami kesulitan keuangan.

Suatu hari, Lowell Bergman (Al Pacino), seorang jurnalis televisi yang biasa meliput berita-berita sensasional untuk stasiun televisi CBS, dalam acara 60 Minutes mendapat sebuah kiriman. Kiriman tersebut berisi data-data mengenai industri rokok yang tidak dimengerti olehnya. Hingga akhirnya, melalui salah satu sumber, Bergman berhasil mendapatkan nomor telepon Wigand dan memintanya untuk meneliti dan menerangkan isi dari data-data tersebut.

Diluar dugaan, data tersebut ternyata berisi tentang zat-zat berbahaya yang terkandung dalam nikotin serta beberapa kecurangan yang pernah dilakukan oleh perusahaan rokok. Karena terikat oleh sebuah perjanjian kerahasiaan perusahaan, Wigand pun menolak tawaran Bergman untuk menjadi narasumber wawancaranya.

Wigand and Bergman








Pertemuan antara Bergman dan Wigand ternyata mengancam keselamatan keluarga Wigand. Bukan hanya memecat, namun perusahaan Brown and Williamson (B&W) tempat dia bekerja dahulu pun memutus tunjangan keluarganya bahkan meneror hingga melakukan ancaman pembunuhan.

Wigand yang awalnya mengira bahwa Bergman telah mengkhianatinya ini pun menghubungi Bergman. Dengan susah payah Bergman meyakinkan Wigand bahwa dirinya adalah jurnalis berintegritas dan selalu melindungi dan menghargai narasumbernya. Akhirnya Bergman merayu Wigand agar membeberkan seluruh kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan rokok tersebut. Namun Wigand masih takut dan khawatir akan keselamatan keluarganya.

Hingga akhirnya Wigand menyetujui wawancara tersebut dan bersedia menjadi narasumber dalam acara 60 minute. Sayang, tekanan yang begitu besar tidak mampu ditahan oleh istri dan anak-anaknya yang pada akhirnya meninggalkan Wigand.

Wigand saat akan ditinggalkan anaknya

Perusahaan B&W pun menyewa jasa Public Relation untuk menyerang Wigand. mereka mulai mencari keburukan Wigand dimasa lalu yang memungkinkan kesaksian Wigand menjadi diragukan.

Setelah selesai dengan wawancara, kini giliran Bergman yang mendapat ujian atas integritas kewartawanannya. Stasius televisi CBS ternyata tidak memperbolehkan Bergman menayangkan acara tersebut. Dengan alasan keuangan perusahaan yang sedang buruk serta ancaman tuntutan yang akan diterima. Perusahaan pun akhirnya memberikan alternatif wawancara dengan tidak menampakkan wajah Wigand kepublik serta beberapa pertanyaan dan penjelasan yang harus diedit.

Bergman pun kecewa, terlebih setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya kenapa perusahaan televisi CBS menolak menayangkan acara tersebut. Integritasnya sebagai seorang jurnalis diuji. Dengan tetap menjunjung nilai-nilai kebenaran publik yang harus diperjuangkan oleh dirinya dan melindungi Wigand sebagai seorang yang menyatakan kebenaran dengan keberanian dari pembunuhan karakter yang dilakukan perusahaan rokok Brown&Wiliamson karena kekuasaan yang mereka miliki, akhirnya Bergman melakukan cara yang akhirnya menjatuhkan perusahaan tempat dia bekerja itu. Hingga pada akhirnya, tayangan rekaman wawancara Wigand pun berhasil diputar secara penuh dalam acara 60 minute di CBS.

Surat kabar pun mulai memberitakan kebenaran yang terjadi, sehingga perusahaan rokok Brown&Wiliamson mendapatkan sejumlah hukuman legal yang merugikan perusahaan tersebut atas praktik bisnis yang tidak sehat.
Wigand interview

Film berdurasi 157 menit ini berhasil memukau saya dengan kelihaian aktor-aktor papan atas sekelas  Russell Crowe dan Al Pacino. Michael Mann berhasil meramu situasi yang begitu pelik hingga nikmat dan tidak mengecewakan untuk ditonton. Tidak pernah membuat saya beranjak bahkan untuk sekedar buang air kecil.

Dramatisasi cerita serta kekuatan karkater yang saling mendukung membuat film ini begitu menarik  Terlebih saat Al Pacino yang berperan dengan begitu baik sebagai Bergmann mampu tetap idealis di antara para koleganya yang perlahan menutup mulut atas tekanan konglomerat-konglomerat tembakau. Salah satu contohnya adalah ketika ia dipaksa untuk merubah hasil wawancaranya dengan Wigand sebelum disiarkan secara nasional. Begitu juga dengan Russell Crowe sebagai whistleblower yang dilema dalam membeberkan rahasianya akibat besarnya tekanan-tekanan dari berbagai pihak yang menentangnya.

Akhir kata, film ini sangat luarbiasa dan wajib anda tonton sebagai penikmat film-film konspirasi dan beradrenalin tinggi.


The Shawshank Redemption




Based upon a story
Rita Hayworth and Shawshank Redemption
by Stephen King

Director:
Frank Darabont
Writers:
Stephen King (short story "Rita Hayworth and Shawshank Redemption"),
Frank Darabont (screenplay)
Stars:
Tim Robbins, Morgan Freeman, Bob Gunton

The Shawsank Redemption (1994), salah satu film paling emosional yang pernah saya saksikan. Meski tanpa gelar bergengsi sekalipun, namun Frank Darabont mampu membius saya dengan penguatan cerita dan karakter yang sangat luar biasa. Diangkat dari sebuah karya Stephen King : Rita Hayworth and the Shawshank Redemption, Darabont berhasil menuangkan karakter-karakter sempurna dari sebuah karya tulis menjadi kenikmatan emosi secara visual.

Dinarasikan oleh Red ( Morgan Freeman ), yang telah sangat lama menjadi penghuni di penjara Shawshank. sebagai orang lama yang belum juga mendapatkan pembebasan bersayarat, Red dan teman-temannya telah biasa menyaksikan para tahanan datang dan pergi di penjara ini.

Hingga suatu hari, Andy Dufresne (Tim Robbins), mantan bankir yang menjadi pendatang baru di Shawsank karena kasus pembunuhan istri dan kekasih gelapnya. Bulan-bulan awal menjadi hari yang sangat berat bagi Andy. Dia harus menerima berbagai bentuk pelecehan seksual dan  menentukan siapa kawan siapa lawan.

Red and Andy
Sama seperti Red, Andy pun dihukum seumur hidup, namun berbeda dengan Red yang harus bertahan hidup di shawsank sebagai pedagang barang selundupan. Andy justru memanfaatkan kemampuannya dalam hal menghitung untuk menarik hati para sipir dan kepala penjara.

Meskipun, akhirnya Andy mendapat perhatian yang lebih dari kepala penjara, namun Andy tidak begitu saja melupakan teman-temannya. Pernah disatu saat, Andy dan beberapa temannya menjadi tenaga pembantu dalam proyek pengaspalan di luar penjara. Saat itu Andy mendengar keluh kesah seorang sipir tentang tunggakan pajak yang dialaminya. Andy mencoba membantu sipir tersebut. Meskipun mulanya sipir tersebut tidak percaya dan hampir membunuh Andy, namun akhirnya Andy berhasil meyakinkan sipir tersebut dengan mengajukan diri sebagai bankir pribadinya. Saat ditanyakan bahwa Andy ingin apa sebagai ganti kebaikan hatinya. Dia menjawab "Sebotol bir dingin untuk setiap orang yang bekerja di tempat ini."

Para tahanan di pengaspalan
Kebesaran dan kebaikan hati Andy ini membuat dia memiliki banyak teman setia. Terlebih saat kepala penjara mendengar kemampuan Andy soal perbankan. Dia pun mendapat pekerjaan tersendiri di belakang meja. Hingga akhirnya Andy Red bisa mendirikan sebuah perpustakaan terbesar pertama di dalam penjara.

Film berdurasi 142 menit ini mengisahkan bagaimana dua orang yang menjalani hukuman penjara seumur hidup, kemudian menjadi sahabat dan mencari cara untuk melawan rasa putus asa. Sebuah mahakarya dari seorang Frank Darabont.

Shawshank Redemption adalah kisah tentang apa arti dipenjarakan, tentang penebusan dosa, tekad, kesetiaan, kekejaman, kebaikan, persahabatan, dan juga tentang harapan. Sedangkan Andy sendiri adalah korban dari ketidakadilan, dia dipenjara karena kejahatan yang tidak dia lakukan, diperkosa, dipukul dan hampir mati. 

Selain Andy, tokoh tokoh sekunder juga berhak kita jadikan pusat perhatian, melalui narasi yang diceritakan oleh Red, yaitu saat Brooks (James Whitmore), seorang penghuni Shawsank yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di penjara ini lebih memilih bunuh diri dibandingkan harus bebas dan hidup bersama dunia yang tidak dia kenal.
Brooks
"Tembok penjara ini aneh. Mula mula, kau membencinya, kemudian kau menjadi terbiasa dan setelah cukup lama berada disini. kau akan menjadi begitu bergantung berada disini. Begitulah rasanya dipenjara,"

Saat Andy berhasil melarikan diri dari Shawsank dengan cara yang luar biasa, Red pun hampir berpikir akan mengakhiri hidupnya sama seperti Brooks. Namun, janji yang telah dia buat untuk Andy berhasil menyelamatkan hidupnya. Karena janji inilah satu satunya hal yang membuat Red bergantung pada harapan dan menyangkal teorinya sendiri.

Kepala Penjara Norton
Secara keseluruhan, film ini mampu membuat saya bertahan dalam alam yang diciptakan oleh Darabont melalui ilusi visual yang begitu hebat. Permainan psikologis dan emosi yang membuat rasa penasaran serta senyum puas saat Kepala penjara Norton terkecoh dengan tipu muslihat yang diciptakan Andy. 

Semua ketegangan dan kepintaran yang mampu menahan saya tanpa beranjak sedikitpun selama 140 menit di depan layar kaca.

Jumat, 10 Januari 2014

THE GREEN MILE

 

Based on novel by Stephen King
Starring : Tom Hanks, Bonnie Hunt, Michael Clarke Duncan, David Morse, Michael Jeter, James Cromwell
Written By Frank Darabont
Directed By Frank Darabont

The Green Mile ( 1999 ) adalah kisah dimana penebusan, pelepasan dan keajaiban, terutama tentang penegasan bahwa keajaiban bisa muncul di tempat tempat yang tidak pernah terpikirkan oleh kita.
The Green Mile seperti pembuktian bagi Frank Darabont setelah debutnya dengan The Shawsank Redemption (1994) mendapat pujian manis dari banyak kritikus film.

Berbeda dengan banyaknya karya  Stephen King (Saya biasa menyebutnya master of horor), The Green Mile adalah sebuah cerita tentang bagaimana merasakan diri kita yang akan segera dieksekusi mati tanpa perduli kita salah atau tidak serta bagaimana manusia berada dalam titik pengharapan dan penebusan akan kesalahan yang telah dibuat.

"The Green Mile" sendiri merupakan nama kecil dari sebuah blok sel penjara di komplek penjara Cold Mountain, sebuah blok khusus tempat semua terpidana mati ditempatkan sebelum mereka dieksekusi di kursi listrik "Old Sparky".

Paul Edgecomb ( Tom Hanks ), narator sekaligus tokoh utama dalam film ini merupakan petugas yang bertanggung jawab atas semua hal yang berlangsung di dalam blok khusus ini. Bersama rekan rekannya, Brutus, Dean dan Harry. Paul berusaha untuk tetap selalu tenang dalam kondisi apapun karena dia tahu para tahanan yang tertekan dalam sel khusus ini cenderung akan bersifat agresif menjelang eksekusi.

Paul dan Brutus

Suatu hari, John Coffey ( baca : Like the drink, only not spelled the same ), seorang pria berkulit hitam, berperawakan sangat besar, dan berwajah selalu sedih datang menjadi penghuni baru di Green Mile. Coffey adalah terpidana mati atas kejahatan pembunuhan dan pemerkosaan dua orang anak perempuan dari keluarga berkulit putih.

Namun setelah melewati beberapa kejadian misterius di Green Mile, Paul menjadi bimbang dan tidak yakin bahwa Coffey mampu menyakiti dua orang anak perempuan seperti yang dituduhkan. Sifat Coffey yang sangat lembut hingga tidak berani bahkan hanya untuk membunuh seekor semut dan ketakuan Coffey akan gelap semakin meyakinkan Paul bahwa Coffey tidak bersalah.

Terlebih sejak Coffey berhasil menyembuhkan penyakit Infeksi Saluran Kemih yang diderita Paul dengan sangat ajaib. Seperti sebuah mukjizat yang datang dalam hidupnya karena Paul akhirnya bisa lepas dari penyakit yang menyiksanya sejak lama.

180 menit yang saya habiskan di depan layar tidak sekalipun membuat saya ingin beranjak meninggalkan film ini. Frank Darabont berhasil membius pikiran saya hingga masuk kedalam setiap karakter-karakter yang disajikan. Hingga akhirnya Darabont dengan cerdas menciptakan kekuatan dari setiap karakter yang membuat film ini tidak membosankan.

Tom Hanks dengan posisinya sebagai tokoh protagonis yang langsung akan disukai penonton dan Doug Hutchison sebagai Percy Whitmore, salah satu sipir atau bawahan Paul yang sadis dan kejam dan karena karakternya ini, saya rasa penonton selain saya pun akan langsung kesal dan mengumpat karena melihat Doug yang membawakan karakter antagonis sadis dengan sangat baik di film ini.

Banyak kejadian menarik yang membuat saya sebagai penonton membenci Percy Whitmore. Karena koneksinya di pemerintahan, Percy akhirnya bisa berada di dalam sel khusus Green Mile. Dengan keinginan hanya untuk mengeksekusi para tahanan mati. Namun sifatnya yang buruk dan penakut, akhirnya Percy malah menjadi musuh dan bulan-bulanan Paul dan teman-temannya.

Percy Mhitmore
Ada dua kejadian yang membuat saya menjadi sangat membenci Percy. Pertama saat dia menginjak dan
mencoba membunuh Mr. Jingles, tikus cokelat peliharaan kesayangan Ed, (Michael Jater) dan saat dia mengeksekusi Ed dengan spons kering yang itu adalah diluar prosedur hingga akhirnya Ed harus mati terbakar karena listrik tidak mengalir sempurna. Membuat seluruh pengunjung Old Sparky berhamburan keluar karena bau hangus dari tubuh Ed.
Eksekusi Ed




Oh iya, jangan lupakan juga si Sam Rockwell sebagai Wild Bill yang menjadi penjahat gila yang tidak bisa dikontrol, bahkan membuat kewalahan Paul dan rekan rekannya.

Dan sebagaimana kebiasaan saya yang sering menyisakan hidangan utama di belakang. Saatnya Michael Clarke Duncan menunjukkan keistimewaannya. Pembawaanya dalam karakter John Coffey sangat menyentuh dan emosional. Membuat saya sebagai penonton awam hampir tidak terima saat John akhirnya dieksekusi mati di kursi Old Sparky.

Kelihaian Duncan di film ini memang pantas mendapat nominasi Best Supporting actor yang diterimanya pada tahun 2000. Bahkan peran yang sangat luar biasa ini hampir saja menutup performa Tom Hanks sebagai tokoh utama

John Coffey menjadi tokoh yang menyita perhatian di setiap kemuncullannya. Bagaimana dia menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Paul dan Melinda Istri dari Kepala Penjara, Hal yang mengidap kangker ganas. Serta saat John menghidupkan kembali Mr. Jingles yang telah sekarat akibat diinjak oleh Percy. Semua adegan dimana John muncul selalu menyisakan misteri dan rasa penasaran saya.

The Green Mile bukanlah film drama tragis yang bisa dengan mudah membuat saya mengeluarkan air mata di setiap adegannya. Bukan juga film horor yang membuat saya takut akan hantu-hantu yang muncul. Namun, jika ada adegan horor dalam film ini, itu pasti adegan saat para tahanan mati dieksekusi di Old Sparky. Saya membayangkan jika saya berada di sana. Entah seperti apa bulu roma saya akan berdiri menari-nari di atas tubuh ini.

Sedangkan air mata dan kesedihan yang ada justru berada hampir di penghujung film, saat semua kisah sudah terangkum dan kita mengerti dan mengetahui banyaknya hal hal yang sudah dibangun oleh Darabont untuk membangun emosi tersebut di setiap menit dan menitnya.