Rabu, 05 Februari 2014

The Year of Living Dangerously (1982)



Sutradara   : Peter Weir
Produser    : Jim McElroy
Penulis       : Christopher Koch
                    Peter Weir
                    David Williamson
Pemeran     : Mel Gibson
                    Sigourney Weaver
                    Linda Hunt

Gelap dan penuh drama romantis dengan balutan waktu dan tempat yang tidak biasa. Diracik dengan cukup sempurna berdasarkan novel yang sesungguhnya cukup rumit. Begitulah indahnya adaptasi novel The Year of Living Dangerously karya Christopher Koch ini hingga bisa menjadi sebuah film yang mudah dimengerti dan menghibur sekaligus memberikan pelajaran sejarah bagi saya.

Garapan tangan sang sutradara Peter Weir berhasil memuaskan rasa penasaran saya akan setting dan latar yang terjadi pada tahun 1965 di Jakarta.

The Year of Living Dangerously sendiri adalah film drama romantik buah tangan sutrada berkebangsaan Australia yang menceritakan kisah petualangan seorang wartawan Australia yang ditugaskan meliput situasi di Jakarta/Indonesia pada tahun 1965, sebelum hingga saat G30S terjadi.

Guy Hamilton (Mel Gibson) yang seorang koresponden asing pendatang baru untuk jaringan berita radio Australia, tiba di Jakarta dalam sebuah tugas resmi. Di Jakarta, dia bertemu dengan anggota komunitas koresponden asing lainnya, antara lain seorang wartawan asing, personel diplomatik, dan seorang penyandang dwarfisme berdarah Tonghoa-Australia berkecerdasan tinggi dan keseriusan moral bernama Billy Kwan (Linda Hunt) yang juga sebagai narator dalam film ini..

Billy and Guy
Guy dikirim ke Jakarta tanpa ada bimbingan sama sekali dari pendahulunya. Tanpa kontak dan jaringan yang dia kenal, Guy akhirnya berusaha bertahan terhadap apa yang telah lama dia nantikan, yaitu menjadi reporter lapangan.

Awalnya Guy hanya menerima simpati yang terbatas dari komunitas wartawan yang bersaing untuk mendapat potongan-potongan informasi dari pemerintahan Soekarno, golongan komunis (PKI) dan militer (TNI). Namun, Billy Kwan yang menyukai kepridaian Guy berhasil membantunya untuk mendapatkan berbagai janji wawancara dengan tokoh-tokoh penting, seperti dengan Soekarno dan bahkan DN Aidit pimpinan PKI saat itu, sehingga reputasi Guy pun naik tajam.

Suatu hari, Billy memperkenalkan Guy kepada Jill Bryant (Sigourney Weaver) , seorang asisten muda yang cantik di kedutaan Inggris. Awalnya tingkah laku yang diperlihatkan oleh Jill seperti menolak kehadiran Guy. Bahkan Guy harus menerima bahwa mereka tidak akan bisa bersama karena Jill akan segera kembali ke Inggris. Namun Billy secara halus memanipulasi semua pertemuan yang terjadi antara Guy dan Jill, hingga akhirnya Jill jatuh cinta dengan Guy.

Jill and Guy
Jill yang mendapat kabar bahwa pemerintahan komunis China berencana untuk mempersenjatai anggota PKI merasa ketakutan dan mengajak Guy untuk ikut bersama dengannya tinggal di Inggris tanpa memberitahukan informasi rahasia ini kepada Guy.

Namun pada akhirnya Jill pun memberitahukan kabar tersebut pada Guy dan sesuai dengan prediksi Jill, Guy langsung bereaksi dan ingin menjadi orang pertama yang membeberkan berita besar tersebut karena dia yakin perang sipil akan segera terjadi ketika pengiriman senjata tersebut mencapai Jakarta.

Akibat informasi rahasia ini hubungan Guy dan Jill pun menjadi renggang.

Memang banyak yang mengatakan bahwa film The Year of Living Dangerously ini tidak merekam cukup banyak adegan dan cerita sesuai dengan novelnya. Namun, bagi saya, dengan durasi 115 menit, Peter Weir bisa  mengemas film ini dengan cukup baik dan tidak serumit cerita asli yang ada pada novelnya. Peter membuat cerita yang tersaji dengan cukup berat menjadi film yang ringan dan renyah untuk ditonton.

Gaya gaya drama khas Sutradara The truman Show dan Dead Poet Society ini pun sangat terlihat jelas. Lihat bagaimana Billy mencaci rekan korespondennya yang ternyata berhubungan seksual dengan seorang anak Indonesia dibawah umur dan bagaimana Kumar dengan dramanya yang dingin saat membawa Guy ke kampung halamannya di Jawa. Mel Gibson yang masih sangat muda itu pun tidak lepas dari drama yang dia perankan saat mengetahui bahwa kematian Billy bukanlah akibat bunuh diri.

Meski akhirnya film ini melambungkan nama Mel Gibson di panggung sinema dunia, Namun yang patut diacungi jempol adalah akting dari Linda Hunt karena telah berhasil dengan sempurna membawakan peran sebagai laki-laki dengan sangat baik. Tidak heran jika dia dianugerahi penghargaan untuk Aktris Pendukung Terbaik pada Perayaan Academy Award tahun 1983.

Sedikit informasi, meskipun terlihat sangat Indonesia atau sangat Jakarta sekali, namun sebenarnya keseluruhan pembuatan film ini dilakukan di Filipina karena sebelumnya permohonan untuk syuting di Indonesia tidak dikabulkan oleh pemerintah saat itu. Sedangkan judul film, The Year of Living Dangerously sendiri juga merujuk pada judul pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1964, "Tahun Vivere Pericoloso", yang dikenal dengan singkatan TAVIP. Ungkapan bahasa Italia vivere pericoloso berarti "hidup dalam situasi berbahaya".



PKI berdemo
Guy dan militer Indonesia










Oleh pemerintahan Orde Baru film ini dilarang beredar di Indonesia karena dianggap menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan sejarah karena di dalam film ini terdapat adegan penembakan massal yang dilakukan oleh sepasukan tentara berbaret merah. Namun larangan ini dicabut pada tahun 1999, setelah rezim Orde Baru berakhir.


Selasa, 14 Januari 2014

Edward Scissorhands (1990)



Director: Tim Burton
Writers: Tim Burton (story), Caroline Thompson (story)
Stars: Johnny Depp, Winona Ryder, Dianne Wiest



Gelap, noir, kelam dan berbau hitam. Tim Burton memang luar biasa. Berani meninggalkan Disney Pictures sebagai animator dan mulai mewujudkan film dengan gayanya sendiri. Gaya yang sangat khas ala Tim. Hampir semua film besutan Tim saya suka. Mulai dari Batman, Batman return, Edward Scissorhand, Frankenweenie hingga yang paling fenomenal The Nightmare Before Christmas.

Namun yang ingin saya ceritakan disini hanya satu film yang membuat saya tepuk tangan dengan inti ceritanya. Permainan psikologis sang tokoh dan tentunya grafis hitam putih ala-ala noir yang menjadi ciri khasnya.

Ya, Edward Scissorhand. sebuah film yang sebenarnya berbau romance namun digarap dengan sangat apik menjadi sebuah film 'kelam' yang menarik.

Ingat dengan legenda Frankenstain? Manusia yang dibangkitkan dari kematian dengan menyatukan beberapa bagian tubuh dari mayat-mayat yang dikumpulkan.

Edward Scissorhand pun tidak jauh berbeda dengan itu. Berlatarkan kastil tua dengan detil yang cukup apik sehingga membuat saya yang menontonnya mampu merasakan sedikit kengerian pada kastil tua tersebut.

Semua berawal dari Peg Boggs (Dianne West), seorang penjual kosmetik keliling yang mengunjungi sebuah kastil tua. Disana dia bertemu dengan Edward (Johnny Depp) yang mempunyai tangan seperti gunting (Scissorhands).
Peg and Edward

Sama dengan cerita Frankesntain, Edward adalah hasil dari buah karya seorang penemu yang menciptakan Edward dari beberapa koleksi temuannya. Namun sayang, sang penemu tersebut meninggal sebelum dia sempurna menciptakan Edward. 

Setelah menemukan Edward di sebuah loteng di kastil gelap tadi, Peg memutuskan untuk membawa Edward ke rumahnya. Hingga akhirnya Edward bertemu dengan suami Peg, Bill (Alan Arkin), anaknya, Kevin (Robert Oliveri) dan Kim (Winona Ryder), tetapi saat Peg pertama kali membawa Edward kerumahnya, Kim sedang dalam perjalanan bersama teman-temannya. 

Awalnya semua orang memandang aneh pada Edward, lalu karena keahlian Edward dengan gunting-gunting besar ditangannya, Edward akhirnya diterima oleh tetangga-tetangga keluar Boggs, karena Edward menawarkan jasa gunting rambut dan merapikan tanaman. Keluarga Boggs pun tidak canggung lagi dengan Edward.

Lalu Kim akhirnya pulang bersama pacaranya, Jim (Anthony Michael Hall). Kim tentu saja shock dan kelihatan sedikit tertanggu dengan kehadiran Edward. Dan kehidupan Edward yang seimbang berubah saat teman-teman Kim meminta bantuan Edward untuk mencuri disebuah rumah.

Saya tidak bisa menyangkal, gaya gotik ala-ala Tim Burtonlah yang membuat saya menyukai film ini. Ditambah performa Johnny Deep yang selalu bisa memuaskan para penggemar disetiap perannya. Cukup dengan tatapan mata dan dan pandangan dingin yang dilakukan oleh Deep, saya langsung jatuh cinta dengan tokoh Edward.

Memang jika dibandingkan beberapa karya Tim yang lain, Edward Scissorhand tidak terlalu gotik-gotik amat. Tapi, tetap saya masih bisa menemukan sesuatu yang khas ala-ala Tim Burton di film ini.

Kim and Edward

Ditambah kolaborasi Tim bersama dengan Komposer musik andalannya, Danny Elfman, Tim berhasil menciptakan drama kelam yang luar biasa.


Johnny Deep memang luar biasa. Julukan aktor dengan seribu wajah memang pantas disandangnya. Banyak tokoh yang hampir saja tertutup oleh aktingya di film ini. Sebut saja Winona Ryder yang seharusnya membangkitkan gairah romance di film ini jelas kalah total oleh akting Depp. Begitu juga dengan Dianne West, Alan Arkin, dan Anthony Michael Hall, mereka hampir tidak bisa bersaing dengan Deep di film ini. Namun di film ini juga comeback Hall cukup memuaskan karena sangat berbeda dengan karakternya di film The Breakfast Club dan Sixteen Candles. 


Ada satu adegan menarik antara Edward dan Kim, saat Edward membuat sebuah patung dari es, Kim melihat salju-salju berterbangan, dia kemudian keluar dari rumah dan melihat hal yang menakjubkan. Dia melihat Edward memahat es dengan tangan guntingnya dan salju-salju berterbangan disekelilingnya. Kim mulai menari diantara salju-salju tersebut. Kim menikmati detik-detik keromantisan itu. Suasana yang cukup romantis apalagi ditambah dengan iringan musik yang manis.


Namun sayang, proses percintaan Kim dan Edward terbilang absurd, hampir tidak jelas dan terlalu sedikit. Sangat sayang sih menurut saya melihat seharusnya adegan romance dalam film ini bisa mendukung inti ceritanya sendiri.







Senin, 13 Januari 2014

JUNO (2007)




Starring : Ellen Page, Michael Cera, Jason Bateman, Jennifer Garner
Written by Diablo Cody
Directed by Jason Reitman

Apa yang akan kita bahas kali ini?, hmm... Beberapa waktu yang lalu saya bercerita tentang kehamilan dan tentunya suatu saat nanti saya ingin memiliki anak dengan pacar yang akan menjadi istri saya nanti. Karena bercerita hal tersebut, saya langsung terpikir film ini. Ya, Juno. Film tentang remaja yang mendapat banyak penghargaan dan menjadi cerminan akan kehidupan remaja yang dituangkan dalam latar komedi-drama satir yang terkadang berlaku di luar kontrol mereka sendiri.

Usia 16 tahun, masih sangat muda dan memiliki satu orang anak. Bagaimana jika kalian yang menghadapi hal tersebut. Banyak solusi yang akan dilakukan, mulai dari solusi yang baik namun menyusahkan hingga solusi cepat yang sadis dan tak berperasaan.

Setidaknya seperti itulah yang dihadapi oleh Juno (Ellen Page). Dalam usia yang sangat muda ini, sebenarnya dia masih belum pernah terpikir untuk memiliki anak, Namun apa daya, bukan hanya telah menjadi bubur, tapi nasi yang sudah terlanjur lembek itu pun sudah berkerak. Tidak ada yang bisa disesalkan saat "percobaan" singkat dan pertama Juno dan sahabatnya, Bleeker (Michael Cera), ternyata membuahkan hasil yang sempurna. Juno hamil.

Suatu hal diluar dugaan bagi Juno yang masih remaja dalam usianya yang masih 16 tahun ini. Hari-hari yang seharusnya dia lewati dengan belajar dan bersenang senang dengan temannya pun kini sudah tak lagi ada. Juno harus menerima kenyataan bahwa dia akan menjadi seorang Ibu.

Juno and Bleeke

Aborsi pernah menjadi jalan singkat yang akan dilakukannya. Namun dengan bantuan sahabat dan orang tuanya, Juno akhirnya memilih alternatif lain, yaitu mencari orang tua angkat untuk anaknya nanti mengingat dia masih belum siap mengikat kontrak seumur hidup dengan jabang bayi yang dikandungnya.


Akhirnya pasangan Vanesa dan Mark Loring (Jennifer Garner & Jason Bateman) lah yang dengan senang hati akan mengadopsi anak yang nanti akan dilahirkan Juno. Mereka pasangan baik hati yang harmonis dan sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.

Keputusan besar yang diambil Juno untuk mempertahankan kehamilannya ini tentu membuatnya menjadi legenda di sekolah, dimana semua orang selalu memiliki pandangan yang terarah ke perutnya yang semakin membesar.

Bisa kita bayangkan bagaimana tragisnya cerita yang ditulis oleh  Diablo Cody ( mantan striper yang banting setir menjadi penulis ) dan langsung membawanya naik ke panggung Oscar serta menerima Best Writing, Original Screenply. Hoho, namun jangan salah, ternyata Cody tidak setega itu. Berkat dukungan dari sahabat dan orang tuanya juga lah nasib Juno tidak setragis yang saya katakan tadi. Yah, setidaknya hingga kehamilan Juno membesar dan tiba tiba calon ayah angkat anaknya, Mark mengatakan bahwa ia sebenarnya belum siap memiliki anak.

Dan disinilah drama dimulai.
Vanessa and Juno

Mungkin saya bisa mengatakan bahwa Juno merupakan karya kedua terbaik dari sutradara Jason Reitman setelah sebelumnya dia menuai pujian dengan karya perdananya, Thank you for smoking pada tahun 2005. Berkat kolaborasi antara sutrada berdarah Canadian/American  dan mantan striper ini,  Juno tampil sukses sebagai salah satu film terbaik tahun 2007, sekaligus menjadi salah satu dari sedikit film yang mendapat pujian tinggi yang hampir merata diantara kritikus film, sekaligus positif di mata penontonnya.

Sang sutrada dan penulisnya berhasil menggambarkan kisah Juno sebagai remaja yang tidak terlalu cantik atau populer, ia hanya remaja biasa, tomboy, idealis dan bersahabat dengan geek di sekolahnya. Dengan karakter yang santai dan super biasa (tapi bertanggung jawab) seperti itu, Juno ternyata berhasil mengundang simpati penonton untuk ikut memikirkan masalah yang dialaminya. Membuat saya sebagai penonton mampu tenggelam bersama drama yang disajikan.

Cody pun berhasil dengan sangat baik memunculkan karakter Juno yang hanya seorang gadis 16 tahun dan dipenuhi banyak rasa penasaran yang akhirnya mendorong dia untuk bereksperimen soal seks dengan sahabatnya, Bleeker. Namun Apa daya, eksperimen yang berbuahkan hasil itu berubah menjadi persoalan, yang sebenarnya sangat relevan di dunia remaja (khususnya saat ini), tapi sekaligus sangat membutuhkan kedewasaan dalam mencari jalan keluarnya.

Juno
Tidak lupa saya akan memberikan tepuk tangan terkeras untuk  Ellen Page sebagai aktris yang sungguh sangat berbakat. Usianya baru 20 tahun saat film ini mulai dirilis dan Page berhasil membuat saya terpukau dengan sikapnya yang berlagak cuek dan santai namun berhasil menampilkan maksud tersirat dalam perasaannya seperti cemas, ketakutan, kesepian, tapi juga keheranan dan rasa takjub yang diam diam dia rasakan akan seluruh proses kehamilannya.


Banyak hal yang bisa saya petik dari karakter Juno yang berani mengambil keputusan besar dan bertanggung jawab ini. Dengan narasi yang diisi sendiri oleh Juno, saya sebagai penonton dan mungkin anda yang juga menyaksikan film ini mampu masuk dan menelaah apa yang dipikirkannya saat itu. Terlebih saat, melihat transformasi tokoh Juno dan apa yang ia pikirkan selama masa kehamilan dan caranya berdamai dengan situasi yang dialaminya.

Juno, Leah and Bren MacGuff
Sedangkan Bleeker, digambarkan dengan cukup baik pula oleh Michael Cera, sebagai seorang pemalu, pendiam, pasif dan geek juga, tapi ternyata juga menyimpan emosi yang dalam yang berkembang seiring film ini berlangsung. Begitu juga ayah dan ibu tiri Juno, kemudian Mark dan Vanessa. Semua tokoh dalam film ini rasanya akan mampu dengan cepat menarik perhatian siapapun yang menontonnya.

Juno and Bleeker


Terakhir, Reitmen telah sukses meramu  kompleksitas yang terjadi di dunia remaja dengan sangat baik. Terutama terkait masalah kehamilan diusia muda yang saat ini tengah marak melanda remaja. Tapi diluar semua itu, film ini justru menjelaskan bagaimana nilai-nilai moralitas seorang remaja diuji dan kolaborasi Reitmen-Cody sukses menjelaskan moralitas tersebut dengan sederhana, sebuah moralitas yang bangkit dari puing puing kehancuran sosial dalam masyarakat, keluarga dan terutama dari diri sendiri.

Dengan sentuhan-sentuhan  manis yang diberikan terutama tentang bagaimana dukungan orang orang terdekat Juno dalam menyikapi masalah kehamilan yang dihadapinya, membuat saya berpikir. Bagaimana nasib teman-teman remaja yang mengalami hal serupa dengan Juno di luar sana dan tidak seberuntung Juno yang memiliki banyak dukungan moral dari orang-orang terdekatnya karena kehamilan diusia muda dan diluar nikah merupakan masalah yang kompleks dan dibutuhkan kedewasaan dari banyak pihak untuk menyelesaikannya. Karena tanpa dukungan dari orang-orang terdekat, Juno sudah cukup menerima penghakiman dan stereotipe dari masyarakat yang mungkin akan cukup membuatnya menyerah dan melakukan jalan yang salah.